Kenapa aku tidak seperti mereka?
Mereka yang selalu diberi izin untuk melakukan hal yang disenangi. Mereka yang kemana-mana tidak dilarang untuk melakukan hal apa pun. Mereka yang diberi kepercayaan oleh orang tuanya.
Awalnya aku tidak terima dengan sikap orang tuaku yang tegas, bisa dibilang menuntut dan bahkan sering mengekang. Saat orang lain menggunakan waktu remajanya untuk melakukan hal menyenangkan, melihat mereka seperti diberi kabebasan oleh orang tuanya. Sebagai anak, aku merasa sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan, berbanding terbalik dengan asumsi orang tua. Mungkin, mereka menganggapku seperti anak kecil yang harus selalu menuruti semua perintahnya.
Berkali-kali aku meminta izin hanya untuk mengikuti kegiatan belajar bersama saja tidak diperbolehkan. “Mah, Pah, besok aku mau belajar bareng teman ya pulang sekolah,” ujarku meminta izin.
Keduanya tak kunjung menjawab, mungkin saja mereka geram karena aku tidak pernah mengerti pada mereka. Iya memang, aku sama sekali tidak mengerti kemauan mereka. Apa aku tidak boleh, keluar rumah hanya untuk belajar bersama teman saja? Mengapa?
“Kamu sudah tahu jawabannya, kan?” tanya Mamah tanpa mengalihkan kegiatannya yang sedang mencuci piring.
Aku pun melihat ke arah papah yang juga tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Sungguh kesal hatiku dengan sikap mereka yang selalu melarang tanpa ada alasan. Mungkin jika mereka memberiku alasan logis, aku bisa memahami dan sedikit mengurangi keinginan untuk pergi keluar.
“Lebih baik belajar yang rajin di rumah, kalo di luar biasanya banyak main jadi belajarnya teralihkan.” Papah akhirnya membuka suara, namun penjelasannya sama sekali tidak ingin aku dengar.
Kenapa mereka selalu saja seperti itu? Padahal aku hanya ingin diberi kebebasan layaknya orang lain. Tidak bisakah, sekali saja aku keluar rumah hanya untuk menenangkan pikiran? Mencari udara segar di tempat lain, menikmati pemandangan luar selain rumah dan sekolah. Apakah tidak bisa, walau hanya satu kali? Aku selalu mempertanyakan sikap mereka pada diriku sendiri. Selalu meratapi keadaan, mengasihani diri, bahkan menangis sendiri.
Papah akan kerja, dan tidak ada di rumah selama satu bulan. Kukira, ini adalah waktu terbaik karena bisa dengan gampangnya meminta izin pada satu orang, yaitu mamah. Tetapi asumsiku salah besar. Ternyata, mamah tetap mempertahankan aturannya bahkan saat mengetahui aku akan melaksanakan ujian besok hari, aku diingatkan tiap menit harus baca buku.
“Kamu tidur terus, baca pelajarannya kapan?” ujar Mamah dengan nada yang sudah kuhafal, sembari membawa buku pelajaran besok yang akan diujiankan ke hadapanku. Tertera buku bertuliskan “PKN” itu berlabuh dipangkuanku. Kok mamahku bisa tahu? Jangankan mata pelajaran, materi-materi pelajaran aku pun mamah tahu. Padahal mamahku bukan seorang guru SD, SMP, SMA ataupun dosen. Entah masih ingin belajar atau terlalu memperhatikanku, hingga bisa sedetail itu. Tetapi baguslah, mamahku jadi tahu bagaimana susahnya pelajaran yang sedang aku pelajari sekarang ini.
“Udah tadi, masa harus baca terus. Cape, Mah,” elakku dengan nada dibawah mamah.
“Harusnya belajar itu gak boleh ada kata cape,” tegas Mamah.
Seketika, aku ingat kata bijak Imam Syafi’i “Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.”
Mulai belajar lagi sampai pukul 21.00 dan langsung mengarungi mimpi. Tubuh ini telah lelah menghadapi pikiran yang selalu kontra dengan mamah.
Setelah satu minggu melaksanakan ujian, akhirnya selesai juga. Dengan percaya dirinya, aku berkata dalam hati, “Sepertinya ini adalah waktu yang tepat untuk bisa keluar rumah, menikmati keindahan dunia luar.”
Dan lagi-lagi, ada saja yang harus aku jalani. Aku harus belajar untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Oh Allah, mengapa tidak ada waktu untukku hanya untuk menenangkan pikiran saja. Padahal itu sudah menjadi kewajibanku, usaha jika aku ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Tetapi namanya juga manusia selalu tak sadar, terus saja mengeluh padahal ini adalah keinginanku sendiri.
“Satu minggu lagi kamu tes, jangan main ponsel terus. Fokus belajar, jangan sampai menyesal di kemudian hari.” Pepatah yang selalu mamah ucapkan, yang sudah kuhafal dengan gaya bicaranya sekalipun.
Aku pun menurut. Walau tak dengan hati menghafalnya, tetapi aku terus memaksa diri untuk memasukkan materi yang belum aku pahami sebelumnya. Lima jam setiap harinya sudah cukup menyita waktuku untuk mengerjakan kegiatan lainnya. Karena aku mempunyai kegiatan lain yang bisa menjadi hal yang paling membahagiakan jika dikerjakan, main bola basket. Iya, aku sangat suka permainan itu walau hanya dilakukan sendiri. Lebih bahagianya lagi jika ada sepupu ke rumah.
Waktu dimana tes itu dilaksanakan. Aku mengerjakan dengan sungguh-sungguh, karena memang ini adalah keinginanku dari dulu, masuk PTN di kota pelajar.
Tetapi sayang beribu sayang, rencana Allah berbeda dengan impianku. Mungkin dari sudut pandang orang biasa, aku adalah orang yang patut dikasihani karena harapan tak sesuai realita. Tetapi tidak dengan sudut pandang orang yang paham pada kekuasaan Allah. Jika harapan tak sesuai kenyataan, itu berarti harapan kita bukan yang terbaik. Allah akan memberikan yang lebih baik dari yang kita inginkan. Karena Allah akan memberi apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.
Awal melihat pengumuman, hati memang terasa hancur terlebih takut karena mengecewakan orang tua. Belum memberitahu mereka, karena memang takut. Dua hari uring-uringan, keluar kamar hanya seperlunya. Aku hanya merenung menyaksikan dunia luar di jendela kamar. Menyaksikan terbit mentari sampai berganti dengan rembulan dan bintang-bintang. Apalagi jika sudah hujan, aku akan betah menyaksikan dunia luar dengan menajamkan pendengaran karena iramanya berasa indah. Untuk sekarang, hanya itu saja yang dapat membuatku merasa tenang, bahagia.
“Mamah sudah tahu, jangan menutup-nutupi lagi.” Mamah mendekat ke arah meja belajar, dimana aku berada.
Deg. Beribu pertanyaan memenuhi pikiran. Kok bisa tahu? Kenapa sekarang? Aku belum siap jika mereka tahu. Belum siap mendengar kata-kata kecewa mereka. Padahal aku ingin mempersiapkan diri dulu untuk bisa menguatkan diri bagaimana pun yang terjadi. Ya Allah, apa ini tidak terburu-buru? Apa aku bisa mendengar semua kata-kata mamah sekarang?
Semenjak mamah ke dalam, kamar terasa menjadi panas padahal di luar sedang hujan. Jantung tak tentu degubannya. Aku hanya menunduk pasrah, siap mendengar apa pun yang dikatakannya.
“Kenapa gak bicara sama Mamah?” Suara Mamah bagaikan suara yang ada di film-film horor. Meskipun tak ada nada tinggi, tak ada bentakan, tetapi mengapa rasanya seperti di interogasi saat aku melakukan kesalahan.
“Belum ada waktu yang pas,” jawabku dengan suara hampir tak terdengar.
“Kamu takut sama Mamah?”
Aku langsung mengangguk, tanpa memandang ke arahnya.
“Padahal Mamah gak pernah marah sama kamu, lho. Mamah selalu menyuruh kamu menghafal untuk kamu juga, Mamah tahu apa yang kamu inginkan, yang kamu impikan. Mamah memaksa menghafal juga wajar, karena Mamah tahu kamu mempunyai mimpi yang besar. Dan Mamah lihat kamu menghafalnya tidak sesuai dengan apa yang kamu inginkan. Ya, terpaksa Mamah selalu menekankan harus menghafal,” jawab Mamah dengan panjang lebar.
“Di setiap impian yang besar harus ada usaha yang besar pula. Mamah juga selalu berdoa untuk mimpi kamu. Karena di setiap usaha harus dibarengi dengan doa pada Sang Perencana. Karena percuma, jika rencana kita susun sedemikian rupa tetapi tidak sesuai dengan rencana Allah, tidak akan terjadi.”
Aku tersenyum mendengar itu semua, dan mulai berani sedikit-sedikit melihat mamah. Tak ada kekecewaan apalagi kemarahan di sana, di netra yang sedang memandangku.
Tak ada lagi kata-kata yang bisa aku ucapkan, hanyalah pelukan yang ingin aku lakukan. Mamah menyambut pelukku dengan segera.
“Maaf ya, udah ngecewain Mamah dan Papah karena aku udah gagal.”
“Kata siapa gagal?” tanya Mamah.
“Kamu engga gagal. Tapi ini bukan jalanmu untuk menggapai impian. Kamu harus berusaha lagi dengan jalan lain, jalan yang nanti disediakan Allah untukmu. Karena Allah akan menyiapkan jalan lebih indah daripada ini. Yakin, Allah akan mengantikan sesuatu dengan yang lebih baik asalkan kita selalu mendekatkan diri pada-Nya.”
Rasanya ringan sekali setelah mamah tahu apa yang aku rasakan. Tak ada lagi rasa takut mengecewakan, tak ada lagi takut kena marah. Yang ada, aku merasa bersyukur dan bahagia mendapatkan orang tua seperti mereka, yang mengerti apa yang aku butuhkan juga selalu mengingatkan kala aku salah arah.
Terima kasih, Mah, Pah. Aku akan menggapai impian dengan berusaha yang lebih keras lagi dan selalu berdoa pada Sang Illahi.
“Oh iya, maaf ya Mamah tidak mengizinkan kamu keluar rumah, bukan karena gak percaya sama kamu, tapi kami ingin melihatmu bahagia nanti karena telah mencapai impian. Jadi sekarang, kamu fokus dulu untuk belajar. Dan maaf, iya mungkin kami terlalu mengekang, tapi kami sayang sama kamu. Kami ingin melihatmu bahagia dengan mendapatkan apa yang kamu inginkan.”
Mendengar itu, aku semakin merasa bersalah karena telah menduga yang tidak-tidak pada mereka. Pantas saja Allah tidak memperbolehkan kita suuzan atau berburuk sangka pada orang lain, karena memang kita tidak mengetahui dan tidak bisa menduga-duga apa yang ada di pikiran orang. Intinya, setiap orang melakukan sesuatu pasti ada alasan sendiri yang tidak kita ketahui. Tetaplah berbaik sangka pada orang.
Biodata Penulis:
Nama Anti Nafisa Hayati, sekarang berada di penghujung kelas XII. Tiga tahun menggeluti dunia farmasi, mempunyai cita-cita menjadi apoteker. Di samping itu, ingin juga menjadi seorang penulis yang bisa memberi manfaat bagi diri sendiri dan pembaca. Alhamdulillah tahun 2020 bisa menerbitkan buku berjudul Mahkota Terindah, bisa ditemukan di penerbit Ruang Karya (ig: ruangkar¬_ya). Dan juga pernah mengikuti beberapa antologi cerpen di penerbit yang berbeda.
Teman-teman dapat menemukan saya di:
Ig: anna¬_haayt
Wattpad: annayaa87
Tinggalkan Komentar