Info Sekolah
Selasa, 16 Sep 2025
  • SMK Bhakti Kencana Ciawi telah menjadi sekolah literasi nasional.
  • SMK Bhakti Kencana Ciawi telah menjadi sekolah literasi nasional.
20 Agustus 2025

Menjemputmu

Rab, 20 Agustus 2025 Dibaca 111x Cerpen

Halo, namaku Fiona hati memang suka berkata hal lain kepadamu senyuman yang abadi dan cerah di hati dengan cahaya yang menyilaukan mata tapi tuhan berkata lain, seorang yang ku sayangi telah di renggut aku hanya sendirian melangkah di sungai yang dingin tanpa arah dan batasan yang membatasi ku, tapi aku merasa terkekang oleh keadaan yang nestapa.

Tangisan seorang anak yang meringkuk di pojok kamar sambil dimarahi ayahnya, ia berharap semua penderitaannya selesai, bertahun tahun di kekang oleh banyak orang membuatnya menjadi pribadi yang berbeda, saat itu aku berjalan di antara derasnya hujan dengan tangisan yang menghantui hatiku, pikiranku larut oleh tangisan yang tak terbendung tanpa melihat arah, aku tertabrak seorang wanita, iya itu ibuku “kamu kenapa nak?” tanya ibuku kepadaku. “gapapa” aku terlintas untuk lari dari ibuku dan kabur dari tempat itu.

Tapi, ibuku menggenggam tangan ku dan berkata “nak maafkan ayahmu” aku melihat ibuku menangis tak karuan di antara derasnya hujan aku terpatung di tempat, aku merasa sedih, perasaanku campur aduk ibuku ingin memelukku, tapi aku menebas tangannya.

Aku lari tanpa arah, lari menjauh dari ibuku, ibuku berteriak memanggil namaku, tetapi aku tak memperdulikannya sehingga aku hampir tertabrak oleh bis di tengah jalan, cahaya dari bis dan suara bis terdengar nyaring di telingaku, tanpa aku sadari aku di dorong oleh seseorang dan aku langsung terduduk di samping jalan dan berteriak “AYAHH!!” aku menangis sejadi jadinya aku menyalahkan diriku sendiri aku melihat ayahku terlindas bis dan terkapar lemas.Aku langsung berusaha berlari sekuat tenaga padahal kakiku pada saat itu merasakan sakit yang dahsyat, aku berlari semua kenangan terputar di kepalaku aku berjalan tanpa arah aku menaruh kepala ayahku yang bercucuran darah di pangkuanku lalu ia berkata “nak, ayah jahat sama kamu, maafin ayah yah ayah bakal ninggalin kamu sendiri dengan ibumu, sekarang kamu ga bakal di marahin ayah lagi” lambat Laun, matanya tertutup aku pun kian menangis se kencang kencangnya melihat ayahku dingin tidak bernafas aku kehilangan kesadaran.

Aku terbangun di rumah sakit, mataku terasa berat, kepalaku pusing, dan tubuhku terasa lemah. Aroma antiseptik menusuk hidungku. Bayangan kejadian itu kembali menghantam pikiranku—ayah, darah, hujan, teriakan ibuku. Hatiku terasa seperti robek berkeping-keping.

Hari-hari setelah kejadian itu terasa hampa. Aku tak lagi pulang ke rumah, memilih berjalan tanpa arah di kota, menghindari tatapan orang-orang. Hujan malam itu seakan tak pernah berhenti di dalam kepalaku.

Suatu malam, ketika aku duduk di tepi jembatan kota, aku melihat seseorang berdiri di sana—seorang pemuda sekitar usiaku. Tubuhnya bergetar, matanya kosong, dan kedua tangannya memegang pagar pembatas dengan erat. Angin malam bertiup kencang, dan dari tatapan matanya, aku tahu… dia hendak melompat.

Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Perlahan aku mendekat.

“Jangan lakukan itu,” kataku pelan.

Dia menoleh sekilas, suaranya bergetar, “Kamu nggak ngerti… hidup ini udah nggak ada artinya lagi buat aku.”

Aku melangkah lebih dekat, menatap matanya, “Kalau aku bilang… aku mengerti? Aku kehilangan ayahku tepat di depan mataku. Aku tahu rasanya ingin menyerah.”Dia terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. “Namaku Givar,” katanya, hampir berbisik.

“Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”

Aku menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan, “Kalau begitu… mulai malam ini, kamu punya aku. Jangan pergi. Jangan biarkan luka ini membunuhmu.” Givar menatap tanganku ragu. Air mata mengalir di pipinya. Tapi tiba-tiba, angin kencang membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dalam sepersekian detik, aku melompat dan menarik tubuhnya dengan sekuat tenaga, hampir ikut jatuh bersamanya.

Kami terhempas ke lantai jembatan, napas kami terengah-engah.

Dia menatapku lama, lalu memelukku erat, menangis seperti anak kecil.

“Aku… aku takut,” katanya.

“Aku juga,” jawabku, “tapi kita bisa takut bersama-sama, asal jangan sendirian.”

Malam itu, di bawah lampu jalan yang temaram, aku dan Givar duduk bersisian, memandang sungai yang berkilau oleh cahaya kota. Kami berjanji untuk saling menjaga.

Luka di masa lalu mungkin tak akan hilang, tapi kami memilih untuk bertahan—bukan untuk masa lalu, tapi untuk masa depan yang masih mungkin indah.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama… aku merasa aku tidak sendiri.

Malam itu, setelah pertemuan di jembatan, aku dan Givar saling bertukar kisah. Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan saat ia masih kecil, dan selama bertahun-tahun ia berpindah-pindah rumah panti asuhan. Ia merasa tak ada seorang pun yang mau benar-benar melihat dirinya. Aku paham perasaan itu— rasanya seperti dunia ini membiarkan kita tenggelam sendirian.

Hari-hari berikutnya kami sering bertemu. Terkadang hanya duduk di taman, memandangi langit, atau berjalan di tepi sungai. Kami tak banyak bicara, tapi kehadiran satu sama lain terasa seperti jangkar yang menahan kami agar tak hanyut lagi. Lukakami berbeda, tapi rasa sakit itu membuat kami mengerti satu sama lain tanpa perlu banyak kata.

Namun suatu malam, semuanya berubah.

Aku dan Givar sedang berjalan pulang melewati gang sempit ketika kami mendengar teriakan minta tolong. Tanpa pikir panjang, kami berlari ke arah suara itu dan menemukan seorang anak kecil terjebak di dalam bangunan tua yang terbakar. Api menjilat dinding, asap hitam memenuhi udara. Orang-orang berkerumun, tapi tak ada yang berani masuk.

Aku menatap Givar, dan dia hanya berkata, “Kalau kita nggak lakukan sesuatu sekarang, dia nggak akan selamat.”

Kami berdua langsung menerobos masuk. Panasnya membakar kulit, asap membuat mataku perih. Aku bisa merasakan tubuhku gemetar, tapi aku terus memanggil, “Nak! Di mana kamu?!”

Akhirnya, kami menemukannya di sudut ruangan—seorang anak laki-laki kecil, menangis ketakutan. Aku meraih tubuhnya dan menggendongnya erat. Givar memimpin jalan keluar, tapi tiba-tiba atap kayu mulai runtuh. Potongan balok besar jatuh, menghantam pundak Givar.

“Givar!” teriakku.

Dia mendorongku ke arah pintu sambil berteriak, “Bawa dia keluar! Cepat!”

Aku menolak meninggalkannya, tapi api semakin besar. Givar, dengan tubuhnya yang tertahan reruntuhan, tersenyum lemah, “Fiona… kamu sudah selamatin aku malam itu. Sekarang biarkan aku balas.”

Dengan hati hancur, aku menggendong anak itu keluar. Begitu aku menoleh, ledakan kecil mengguncang bangunan, menelan Givar di dalamnya. Dunia seakan berhenti.

Suara teriakan orang-orang di sekitarku seperti tak terdengar lagi—yang ada hanya rasa perih menusuk di dada.Beberapa jam kemudian, petugas pemadam membawa keluar tubuh Givar. Wajahnya tenang, seperti sedang tidur. Aku memegang tangannya yang sudah dingin, air mataku tak henti mengalir.

“Kamu pahlawan, Giv…” bisikku.

Beberapa minggu setelah pemakamannya, aku sering kembali ke jembatan tempat kami pertama bertemu. Di sana, aku menaruh bunga dan selembar kertas kecil bertuliskan:

“Kamu menyelamatkanku dari jatuh… dan kamu mengajarkanku arti bertahan. Terima kasih, Givar. Aku akan hidup—untuk kita berdua.”

Aku tahu hidupku tak akan pernah sama. Tapi aku juga tahu, meski Givar pergi, keberaniannya akan selalu ada di dalam hatiku. Dan untuk pertama kalinya, aku berjalan meninggalkan jembatan itu bukan dengan rasa ingin mengakhiri hidup… tapi dengan tekad untuk menjaganya, di dalam setiap langkahku.

Penulis: Muhammad Fadil Hamizan

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar

 

Moto Kami

SMK Bisa

Kunjungi Kami

Info Sekolah

SMK Bhakti Kencana Ciawi

NPSN 20262719
Jalan Raya Ciawi KM 20, Sukaresmi, Desa Pakemitankidul, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat, Kode Pos 46156
TELEPON (0265) 455111
EMAIL smk_bkc@yahoo.co.id
WHATSAPP +62 822-1925-2185