Teriknya matahari tak pernah menjadi penghalang untuk setiap hari ku lalui agar selalu memberikan dan melihat senyumannya, senyuman yang menjadi penguat kala dunia seolah-olah hampir rubuh tak tersisa. Kala caci maki an terlontar dan hinaan saling silih berganti datang tanpa henti. Di kota ini, di kota yang menjadi pusat ibu kota, aku. Rahman! Menjadi salah satu perantau yang turut ikut dalam kerasnya kehidupan sehari-hari di kota. Anakku yang masih berusia 8 tahun, dan juga— istriku! Dia lah orang pertama yang selalu membela dan selalu ada untukku dikala resah, di saat tak ada satu pun orang yang memihak ku termasuk kedua orang tuaku.
“Ingat pesan bapak nak, meskipun kita hidup miskin. Tapi, kita harus bermartabat!”
“Bapak! Bapak tau kan, Sani pengen jadi dokter? Biar nanti kalo bapak sama ibu sakit tidak perlu bayar mahal-mahal, biar Sani aja yang urus bapak sama ibu.” Begitu katanya, Sani adalah anak perempuan ku. Kehadirannya adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada kami, menjadi salah satu tanggung jawab ku dunia dan akhiratnya kelak.
“Iya nak, bapak tau. Bapak sama ibu akan selalu mendukung kamu supaya apa yang Sani impikan nantinya tercapai atas kehendak dan ridho Allah, bapak juga akan mencari uang yang banyak. Supaya Sani bisa sekolah dan kuliah hingga menjadi seorang dokter yang sholehah dan juga cerdas nantinya.”
“Aamiin, do’a ibu sama bapak akan selalu dilangit kan hanya untuk putri kesayangan kami ini! Kalo begitu Sani sarapan dulu yaa, biar nanti belajar nya semakin semangat.” Ucap istriku sambil membawakan nasi yang hanya berisikan tempe dan juga kecap.
Sani melihat piring tersebut dengan sangat teliti, sudah Minggu ke berapa ia memakan makanan yang sama setiap hari? Apakah Sani mengeluh? Tidak, ia tersenyum sambil mengambil alih piring tersebut dengan penuh semangat.
“YaAllah, Sani tidak tau ini kali ke berapa Sani memakan tempe dan juga kecap manis. Rasanya enak YaAllah, tapi— lain kali, makannya diganti sama ayam yang selalu di jual di sisi jalan yaa! Sani juga ber do’a semoga kali ini bapak kerjanya lancar dan nggak ada yang berani jahat sama bapak. Aamiin.” Ucap nya dalam hati, ini sudah menjadi kebiasaannya setiap hari, ternyata. Ia ingin makan ayam yang dijual di sisi jalan sana! Ia tidak langsung memintanya kepada bapak dan ibunya, karna ia tau betul bagaimana kondisi kedua orangtuanya, melainkan. Ia langsung meminta nya kepada Tuhan semesta alam, tuhan yang selalu senantiasa memenuhi semua kebutuhan hamba-hamba nya. Lekas ia membaca do’a makan, dan dimakan lah nasi tersebut hingga habis tak tersisa. Di saat ia tengah mengenakan sepatu, netra ku hanya terpaut pada sepatu lusuh yang sudah hampir menganga bawah nya, lekas aku pun menghampirinya.
“Nak! Mana bapak liat sepatu mu!” Ia menepis, membuat ku semakin heran. Kenapa kebutuhan anak ku saja tidak aku perhatikan sampai-sampai ia tak berani menyampaikan.
“tidak pak, tidak usah di lihat. Sepatu Sani masih bagus kok, masih layak pakai bapak nggak usah khawatir Sani juga tidak malu. Kayaknya lem nya lepas, nanti biar Sani minta ibu lem lagi.” Hatiku teriris nampak sangat jelas, anakku ingin menangis. Aku tertunduk malu dan tak berdaya, ayah macam apa aku ini?
“Maafkan bapak, bapak belum bisa beli sepatu baru buat kamu.” Aku mencengkram kuat tubuh ku sendiri.
“Kenapa bapak harus minta maaf ke Sani? Kan bapak tidak bersalah, Sani juga nggak papa kok. Malahan sani selalu senang kalo setiap pagi bapak antar Sani ke sekolah, Bapak kan superhero nya Sani, jadi bapak nggak boleh nangis. Nanti cepat tua.” Ia tertawa sembari memeluk ku dengan begitu erat, bapak mana yang tak merasakan ketenangan seperti ini ketika melihat anaknya bisa tumbuh dengan penuh kasih sayang dan juga penuh dengan kesabaran. Sejak saat itu aku selalu bertekad untuk selalu bisa membahagiakan kedua bidadari yang Allah titipkan untukku.
Aku bekerja sebagai serabutan, penghasilan ku tak tersesuaikan, dan terkadang acak-acakan. Namun, hanya ini yang dapat aku kerjakan mengandalkan otot dan juga tenaga yang menjadi modal utama.
“Woy Rahman, sini!”
“Sebentar tanggung aku selesaikan terlebih dahulu pekerjaan ku nanti aku menyusul.”
“Halah! Sok pekerja keras dia, sekuat apapun dia bekerja dia akan tetap menjadi seorang serabutan. Dasar! Di ajak ngopi kok tidak mau.” Aku masih dapat mendengar ucapannya, entah siapa namanya namun ia selalu di panggil kang Sora. Tubuh nya yang tinggi dan juga gemuk bak raksasa, perkataan nya yang kerap kali menyinggung perasaan orang yang disekitaran nya.
“Kang sor! Tau tidak, si Rahman punya anak perempuan yang cita-citanya ingin menjadi seorang dokter. Setiap hari ia selalu menghabiskan waktunya buat membaca buku di rumah pak Harto.” Ucap temannya yang kebetulan berada di samping. Sambil menyeruput secangkir kopi ditangan nya, ia tertawa dengan begitu keras. Membuat ku terkaget dan melihatnya dengan heran, sudah tidak waras kah ia?
“HA-HA-HA, Rahman. Rahman, jadi orang itu jangan suka memberi harapan yang tinggi nanti kalo jatuh baru tau rasa, kamu nggak nyadar? Hah!? Buat makan keluarga aja kalian itu susah gimana caranya mau nyesekolahhin anak sampai jadi dokter? Dasar manusia dungu. Sampah tau nggak!?” ia tertawa begitu kencang bersama temennya tersebut, aku tak menghiraukannya memilih fokus ke pekerjaan ku saat ini.
“WOYY! DENGER NGGAK GUE NGOMONG? DASAR MANUSIA NGGAK TAU DIRI, DAPET APA LO SELAMA KERJA JADI SERABUTAN, HAH?” Ia marah, ketika aku tak melayani semua omong kosong belaka yang ia lontarkan. Memukul kaki ku dengan sebongkah kayu yang tak tau ia dapat dari mana. Aku terjatuh, tak ada yang menolong. Mereka hanya melihat seolah-olah menikmati setiap detik kejadian.
“Orang sepertimu itu, kalo tidak merasa tersaingi yaa berarti merasa kalah saing.” Ucap ku dengan begitu tenang, sesekali merintih kesakitan di bagian kaki.
“ASAL LO TAU YAA! GUE NGGAK PERNAH MERASA TERSAINGI ATAUPUN MERASA KALAH SAING SAMA MANUSIA KAYAK LO.” Dan, sekali lagi ia memukul wajah ku dengan cukup keras, hingga dapat dilihat bibir bagian bawahku Sobek cukup dalam. Hari mulai berganti aku pun pulang tengah malam dan hanya berjalan kaki dan sudah dipastikan hanya sendirian.
“Assalamu’alaikum!?” aku membuka pintu rumah dengan susah payah, terlihat istriku tengah duduk menunggu kepulangan ku. Sontak saja ia terkejut melihat kondisiku ia berdiri seraya berucap.
“ Wa’alaikumsalam, Pak? Apa yang terjadi? Kenapa tubuh bapak luka-luka seperti ini, ada yang memukul wajah bapak, katakan?” aku berbohong, dengan kebohongan yang sama dengan waktu dulu.
“Tidak buk, bapak tidak papa. Hanya luka kecil hal biasa saat bekerja.”
“Bohong, mana mungkin jika keteledoran saat bekerja biasa setiap hari, setiap hari selalu ada saja luka di tubuh bapak. Pak! Kalo memang nggak tahan bekerja di sana mening bapak tidak usah bekerja di sana lagi.” Aku tau, istriku tengah cemas kala itu, ia terus menerus menangis meratapi semua yang terjadi setiap harinya, tak bisa berbuat apapun, hanya demi satu lembar rupiah aku rela merasakan sakit luar dan juga dalam.
“Buk! Apakah uang simpanan kita masih ada?” tanya ku mengalihkan pembicaraan.
“Ada pak, tapi. Hanya untuk Sani sekolah.” Jawab nya sambil menyodorkan uang hanya beberapa lembar.
“Ini! Uang bapak hari ini, maaf ya buk bapak hanya bisa membawa uang segini.”
“Tidak papa pak, terimakasih banyak bapak sudah berusaha keras untuk selalu memenuhi kebutuhan kita.” Disela-sela keheningan malam tiba-tiba saja istriku bertanya yang aku sendiri pun tak tau harus menjawabnya apa.
“Pak, kita bisa tidak yaa… Menyesekolahkan Sani sampai ia bisa menjadi seorang dokter?” aku berpikir cukup lama, anak ku harus bisa lebih baik kehidupannya dibanding bapak dan ibunya, setidaknya ia harus bisa menuntut ilmu supaya kelak ia dapat kehidupan yang lebih layak dan bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya.
“Bisa, pasti bisa buk! Bapak akan nyari pekerjaan tambahan buat Sani sekolah buat ibu juga. Jadi, ibu tidak usah khawatir.”
“Kalo begitu ibu juga mau membantu bapak bekerja, ibu dapat pekerjaan dari tetangga jadi pencuci baju lumayan buat makan kita nanti.” Hatiku sangat perih tuhan, apalagi alasan ku agar tetap kuat? Makanan, tempat tinggal, hingga kehidupan ku yang selalu penuh cobaan dan godaan yang selalu penuh dengan kekurangan tidak ada yang menjadi alasan terkuat ku melainkan hanya karna dua bidadari yang selalu ada di sampingku.
“Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji’un.” Kata tersebut lah yang selalu menjadi pengingat, bahwasanya kita semua hanya milik-NYA dan kepada-NYA lah kita kembali.
“Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Q.S Al-Baqarah/155)
“Pak! Nasi nya hanya tinggal segini, hanya cukup buat Sani makan.” Di pagi harinya istriku menyodorkan wadah cukup besar yang terlihat hanya segenggam beras di dalamnya.
“Buk!? Bagaimana jika untuk hari ini kita puasa terlebih dahulu? Bapak cari uang dulu nanti pulang nya bapak beli beras!?” Aku mengusap lembut puncak kepala istriku penuh dengan harapan semoga ia setuju akan hal itu.
“Yasudah pak, tidak papa kita puasa lagi aja.” Jawab nya sambil bernapas pasrah.
Saat tengah siapa-siapa untuk pergi bekerja, tiba-tiba saja Sani menemui ku dengan raut wajahnya yang begitu cemas. Apakah yang ingin ia katakan? Tanyaku dalam hati.
“Bapak, mau berangkat kerja yaa?” lantas aku pun menunduk mensejajarkan dengan tubuh kecilnya.
“Iya nak, kamu butuh sesuatu?”
“Itu pak— Anu! Mmm… Uang buat beli buku pak, buk guru sudah menanyakan nya terus ke Sani kapan mau di bayar katanya!?” aku membuang nafas susah payah.
“Iya nak, Sabar dulu yaa! Bapak akan cari pekerjaan tambahan supaya bisa cepat-cepat bayar buku nya, bilang juga ke buk guru. Nanti, satu minggu lagi bapak kesekolah!”
Tahun silih berganti namun, kehidupan ku masih tetap sama. Bahkan lebih berat lagi ujiannya. Anakku sudah masuk ke sekolah menengah pertama, dan— istriku. Ia sakit, yang mengharuskan aku lebih ekstra menjaganya. Sakit nya adalah sakit ku juga. Aku merasakan semuanya memudar setelah istriku hanya berdiam diri di kamar, menahan sakit sendiri an. Senyum nya sudah mulai mengurang bagaikan sebuah cahaya yang sudah hampir redup. Singkat cerita, sakitnya semakin parah dan aku merasa dunia akan hancur saat detik itu juga, aku membawanya ke rumah sakit menggunakan gerobak yang selalu di pakai untuk mengumpulkan sampah. Aku menariknya dengan sekuat tenaga, aku terpuruk begitupun anakku. Hujan menyapa kami kala itu, padahal bukan sapaan seperti itu yang kami inginkan di kala seperti ini.
“BAPAK! CEPAT PAK HUJAN TURUN!” Anak ku berteriak sekuat mungkin karna hujan telah berhasil membasahi tubuh kami.
“TUTUPI IBU MU DENGAN KAIN NAK! SEBENTAR LAGI KITA SAMPAI.”
“JANGAN BIARKAN IBUMU TERTIDUR!”
“Sani, jaga bapak yaa! Sani adalah salah satu alasan bapak kuat hingga detik ini, do’a ibu akan selalu ibu panjatkan untukmu. Ibu yakin kamu pasti bisa meraih semua cita-cita yang kamu impikan selama ini, nak! Jika kamu ingin sukses, kamu harus siap merasakan perih nya kehidupan terlebih dahulu. Sabar yaa sayang, sampaikan kepada bapak kalo ibu akan selalu ada di sisinya.” Aku menyangkal istriku mengucapkan hal indah seperti itu, aku ingin istriku tetap berada di sini, bersama ku. Dan tidak kemana-mana. Sani mulai menangis ia menjerit yang membuat ku menghentikan langkah yang kian menyiksa, menepi di salah satu gubuk tua melihat istriku kini tengah tertidur dengan senyuman indah yang selalu aku lihat ketika ia tersenyum kepadaku.
“Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji’un.”
Beberapa tahun berikutnya —
Apa lagi yang menjadi alasanku untuk tetap kuat? Sani, iya. Anakku… bersabarlah nak! Meskipun kita hidup miskin tetapi kita harus bermartabat, bersabarlah nak! Hidup memang tak selamanya selalu berpihak kepada kita, di kehidupan selanjutnya kamu akan berjalan di kehidupan yang luas ini dan bapak tidak akan pernah melepaskan tanganmu hingga nanti datang seseorang yang benar-benar akan menjaga dan membimbing mu.
Terimakasih bapak, terimakasih buk tenyata benar ketika kita masih kecil, kita tak pernah tahu betapa letihnya bapak mencari nafkah, atau seberapa sering ibu menahan sakit demi melihat kita tersenyum. Kita tumbuh dalam pelukan kasih yang tak pernah meminta imbalan, dalam doa-doa malam yang tak pernah terdengar. Kini, ketika langkah kita semakin jauh, ingatlah bahwa di rumah ada dua hati yang tak pernah berhenti mencintai. Mereka adalah jalan menuju ridha Allah, dan dalam keridhaan merekalah letak keberkahan hidup kita. Jangan tunggu esok untuk mengucap terima kasih, atau menyesal ketika doa mereka tak lagi menyebut namamu. Peluk mereka selagi bisa, doakan mereka tanpa henti. Karena orang tua, adalah cinta pertama yang Allah titipkan di dunia ini. Kini aku telah mencapai semua impian ku, tanpa genggaman tangannya aku tak bisa sampai titik ini, benar kata bapak.
“Manusia memang harus pintar-pintar menempatkan diri. Kapan harus melihat ke atas, kapan harus melihat ke bawah…
Melihat ke atas agar tetap memiliki mimpi dan harapan…
Melihat ke bawah agar selalu mensyukuri semua yang telah dimiliki…”
Terimakasih Tuhan, Senja kali ini berbeda, karna ditemani dengan seseorang yang menjadi alasan ku untuk tetap kuat. Sani anakku! jika nanti engkau merasakan dunia tengah tidak berada di pihak mu maka, berbalik lah kebelakang! Bapak akan selalu menanti kepulangan mu.
TAMAT.
Karya: Rosma Khoerunnisa
Tinggalkan Komentar